Rabu, 19 Agustus 2015

Sejarah Perkembangan IPS

a.       Sejarah Perkembangan IPS secara Umum
Antara tahun 1940-1950 NCSS mendapat serangan yang berkisar pada pertanyaan mesti tidaknya sosial studies menanamkan nilai dn sikap demokratis kepada para pemuda. Hal itu tumbuh sebagai salah satu dampak yang melahirkan tuntutan bagi sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis. Tuntutan tersebut telah mendoromg munculnya upaya pemberian tekanan kepada pentingnya pengajaran sejarah, berupa fakta-fakta sejarah yang perelu mendapat perhatian.
Pada tahun 1960-an, timbul suatu gerakan akademis yang mendasar dalam pendidikan, yang secara khusus dapat dipandang sebagai suatu revolusi dalam social studies, yang dipelopori oleh para sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok ilmuan tersebut terpikat oleh sosial studies, antara lain karena pada saat itu pemerintah federal menyediakan dana yang sangat besar untuk pengembangan kurikulum.  Dengan dukungan dana tersbut para ahli dari berbagai disiplin bekerja sama untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat inovativ dan menantang dalam skala yang besar. Gerakan akademis tersebut dikenal sebagai gerakan the new sosial studies (social studies gaya baru).
Namun demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan untuk mendapatkan the new social studies ini belum menjadi kenyataan. Isu yang terus menerpa social studies sampai saat ini adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi, tujuan pembelajaran yang saling bertentangan, dan pertikaian mengenai isi pembelajaran.
            Pada tahun 1940-1960 ditegaskan oleh Barr, dkk. (1977:36), yaitu terjadinya tarik menarik antara dua visi social studies. Disatu pihak, adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplion ilmu sosial untuk tujuan citizenship education, yang terus bergulir sampai mencapai tahap yang lebih canggih. Dilain pihak, terus bergulirnya gerakan pemisahan beragai disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi social studies education. Hal tersebut, antara lain merupakan dampak dari berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu, juga merupakan dmpak dri opini publik berkaitan dengan perang dunia ke II, perang dingin, dan perang korea, serta kritik publik terhadap belum terwujudkannya gagasan John dewey tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktik pendidikan persekolahan.
Tekanan perubahan lain yang juga cukup dahsyat muncul pada tahun 1957 dalam bentuk upaya komprehensif untuk mereformasi social studies. Pemicu perubahan tersebut adalah keberhasilan Rusia meluncurkan pesawat ruang angkasa “Sputnik” yang telah membuat Amerika menjadi panik dan merasa jauh tertinggal dari Rusia, dan dipublikasikannya hasil penelitian dua orang dosen Purdue University, H. H Remmers dan D. H. Radler yang dikenal dengan Purdue Opinion Poll.
Gerakan the new social studies yang menjadi pilar dari perkembangan social studies pada tahun 1960-an, bertolak dari kesimpulan bahwa social studies sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan sikap siswa.
Gerakan tersebut dipacu lebih kuat oleh pemikiran Bruner yang dengan tegas berargumentasi bahwa pandangan ini sangat mempengaruhi pikiran dan sikap para sejarawan dan ahli ilmu sosial, dan mereka berargumentasi mengapa harus bersusah payah mengembangkan sosial studies, toh konsep, generalisasi, teori dan prosedur, serta model disiplin akademik dapat diajarkan kepada anak dari berbagai tingkat usia sekolah.
            Atas dasar tersebut, pada akhirnya para sejarawan, ahli ilmu sosial dan pendidikan sepakat untuk melakukan reformasi social studies dengan menggunakan cara yang berbeda dari sebelumnya pendekatan tersebut adalah melalui proses pengembangan kurikulum sekolompok pendidik, ahli psikologi dan ahli ilmu sosial secara bersama-sama mengembangkan bahan belajar berdasarkan temuan penelitian dn teori belajar, kemudian diujicobakan di lapangan, selanjutnya direvisi dan pada akhirnya disebarluasan untuk digunakan secara meluas dalam dunia persekolahan.
            Pada akhir dasawarsa 1960-an tercatat (Barr, dkk.: 45) adanya perubahan dari orientasi pada disiplin akdemik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari hubungan interdisipliner. Untuk ini the social studies curiculum center at syaracuse mengidentifikasi 34 konsep dasar yang digali dari sejumlah ilmu sosial yang dinilai perlu diajarkan di sekolah.
Pada dasawarsa 1970-an, demikian direkam Barr, dkk. (1877:46) terjadi pertumbuhan social studies yang serupa dengan perkembangan sebelumnya dengan hasilnya hampir semua proyek kurikulum menitik beratkan pada inquiry process, decision making, value question and student oriented problems. Namun demikian, hasil studi mengenai kurikulum dan pembelajaran social studies tersebut ternyata sangat mengejutkan. Para ahli ternyata mendapatkan kesimpulan yang sama, yakni terlepas dari upaya terbaik daripada pendidik dan besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah, ternyata belum banyak terjadi perubahan di sekolah (Barr, dkk., 1977:48).
Pada dasawarsa 1980-an perkembangan social studies ditandai oleh lahirnya dua pilar akademis; laporan pertama menghasilkan definisi, tujuan, lingkup dan urutan materi mulai dari kindergarten sampai dengan kelas XII (high school), rincian democratic beliefs and values, dan rincian Skill in the social studies Curricurum.
Jika dilihat dari definisi dan tujuannya, social studies menurut laporan tersebut terkandung hal-hal sebagai berikut. Pertama, social studies merupakan mata pelajaran dasar di seluruh jenjang pendidikan persekolahan; kedua, tujuan utama mata pelajaran ini ialah mengembangkan siswa untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam kehidupan demokrasi; ketiga, konten pelajarannya digali dan diseleksi dari sejarah dan ilmu-ilmu sosial, serta dalam banyak hal dari humaniora dan sains dan keempat, pembelajarannya menggunakan cara-cara yang mencerminkan kesadaran pribadi, kemasyarakatan, pengalaman budaya, perkembangan pribadi siswa. Kesemua itu mencerminkan visi, misi dan strategi yang senapas dengan apa yang telah diajukan oleh Barr, dkk. (1978).
Jika dilihat dari karakteristik dan tujuannya, social studies education atau social studies yang dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap menempatkan pendidikan kewarganegaraan, yakni pengembangan civic responsibility and active civic participation, sebagai salah satu esensi pengembangan kemampuan sosial yang berkenaan dengan visi tentang pengalaman hidupnya, pemahaman kritis terhadap ilmu-ilmu sosial, pemahaman tentang manusia dalam konteks persatuan di dalam perbedaan, dan analisis kritis terhadap keadaan kehidupan manusia.
Secara essensial terkandung visi, misi dan strategi pendidikan social studies yang mengokohkan kristalisasi pemikiran yang lebih solid dan ohesif dari para pakar dan praktisi yang tergabung dalam NCSS yang secara social akademik sangat berpengaruh  di Amerika serikat, yang biasanya juga memberi dampak yang sangat signifikan terhadap pemikiran dalam bidang itu di negara lain. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dalam dasawarsa terakhir, 1980 dan 1990-an, pemikiran mengenai social studies yang sebelumnya dilanda penyakit ketidakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan dan ketakmajuan paling tidak secara konseptual telah dapat diatasi.

b.      Sejarah Perkembangan IPS di Indonesia
            Perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu, yang secara sporadis dan yang dapat dijangkau. Istlah IPS untuk pertama kalinya muncul dalam seminar nasional tentang civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo menurut laporan seminar tersebut (panitia seminar nasional civic education, 1972:2, dalam Winataputra, 1978:42) ada 3 istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai (interchangeably), yakni: pengetahuan sosial, studi sosial, dan ilmu pengetahua sosial.
            Ketiga istilah ini diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah sosial yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah sosial itu dapat dipahami dan memecahkan masalah sosial sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS belum masuk kedalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dalam wacana pendidikan Sains, pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS.
            Konsep IPS pertama kalinya masuk kedalam dunia persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakni dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewarganegaraan yang didalamnya terdapat sejarah Indonesia, ilmu bumi Indonesia dan Civics yang diartikan sebagai pengetahuan kewargaan negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut konsep IPS diartikan sama denagn Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah studi sosial anmpaknya dipengaruhi oleh pemikiran sebuah manuskrip berjudul studi sosial:”pengantar menuju sekolah Komperhensif yang isinya diiwarnai oleh pemikiran Leonard Kenworth, (1970) dengan bukunya teaching Social Studies.
            Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975, yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui kurikulum PPSP. Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975 penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (P4) sebagai materi pokok pendidikan moral pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yang mendasar.
Dengan berlakunya undang-undang No. 2/1989 tentang sistem  Pendidikan Nasional. Dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila Dan pendidikan kewaranegaraan. Kemudian, ketika ditetapkannya kurikulum 1994 menggantikan kurikulum 1984, kedua bahan kajian tersebut dikembangkan menjadi satu mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merpakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadahi tradisi ctizenship transmission denagn muatan utama butir-butir nilai pancasila yang diorganisasikan denagn menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba (Taba 1964) dan expanding environment approach ala Hanna (Dufty ; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila pancasila.
Dlam kurikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa dalam setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, dan SMU). Sedang mata pelajaran IPS diwujudkan dalam;
1.      Pendidikan IPS terpadu di SD kelas III sampai dengan VI
2.      Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi;
3.      Pendidikan IPS terpisah, yang mirip dengan tradisi “social studies” taught as social science menurut (Barr, dkk.; 1978).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai denagn dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi citizenship transmission dalam bentuk mata pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah di SMU, yang terkonfederasi di SLTP dan yang terintegrasi di SD.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang ebrkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu Humaniora yang diorganisasikan secara psikopedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan ; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan Guru IPS yang pada dasrnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasaian secara ilmiah dan meta psikopedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan untik tujuan profesional guru IPS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar