a. Sejarah
Perkembangan IPS secara Umum
Antara
tahun 1940-1950 NCSS mendapat serangan yang berkisar pada pertanyaan mesti
tidaknya sosial studies menanamkan nilai dn sikap demokratis kepada para
pemuda. Hal itu tumbuh sebagai salah satu dampak yang melahirkan tuntutan bagi
sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan
untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis. Tuntutan tersebut telah
mendoromg munculnya upaya pemberian tekanan kepada pentingnya pengajaran
sejarah, berupa fakta-fakta sejarah yang perelu mendapat perhatian.
Pada
tahun 1960-an, timbul suatu gerakan akademis yang mendasar dalam pendidikan,
yang secara khusus dapat dipandang sebagai suatu revolusi dalam social studies,
yang dipelopori oleh para sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok
ilmuan tersebut terpikat oleh sosial studies, antara lain karena pada saat itu
pemerintah federal menyediakan dana yang sangat besar untuk pengembangan
kurikulum. Dengan dukungan dana tersbut
para ahli dari berbagai disiplin bekerja sama untuk mengembangkan proyek
kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat inovativ dan menantang
dalam skala yang besar. Gerakan akademis tersebut dikenal sebagai gerakan the
new sosial studies (social studies gaya baru).
Namun
demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan untuk mendapatkan the new
social studies ini belum menjadi kenyataan. Isu yang terus menerpa social
studies sampai saat ini adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi, tujuan
pembelajaran yang saling bertentangan, dan pertikaian mengenai isi pembelajaran.
Pada tahun 1940-1960 ditegaskan oleh
Barr, dkk. (1977:36), yaitu terjadinya tarik menarik antara dua visi social
studies. Disatu pihak, adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplion
ilmu sosial untuk tujuan citizenship education, yang terus bergulir sampai
mencapai tahap yang lebih canggih. Dilain pihak, terus bergulirnya gerakan
pemisahan beragai disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi
social studies education. Hal tersebut, antara lain merupakan dampak dari berbagai
penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang
berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu, juga merupakan dmpak
dri opini publik berkaitan dengan perang dunia ke II, perang dingin, dan perang
korea, serta kritik publik terhadap belum terwujudkannya gagasan John dewey
tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktik pendidikan
persekolahan.
Tekanan
perubahan lain yang juga cukup dahsyat muncul pada tahun 1957 dalam bentuk
upaya komprehensif untuk mereformasi social studies. Pemicu perubahan tersebut
adalah keberhasilan Rusia meluncurkan pesawat ruang angkasa “Sputnik” yang
telah membuat Amerika menjadi panik dan merasa jauh tertinggal dari Rusia, dan
dipublikasikannya hasil penelitian dua orang dosen Purdue University, H. H
Remmers dan D. H. Radler yang dikenal dengan Purdue Opinion Poll.
Gerakan
the new social studies yang menjadi pilar dari perkembangan social studies pada
tahun 1960-an, bertolak dari kesimpulan bahwa social studies sebelumnya dinilai
sangat tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan
sikap siswa.
Gerakan
tersebut dipacu lebih kuat oleh pemikiran Bruner yang dengan tegas
berargumentasi bahwa pandangan ini sangat mempengaruhi pikiran dan sikap para
sejarawan dan ahli ilmu sosial, dan mereka berargumentasi mengapa harus
bersusah payah mengembangkan sosial studies, toh konsep, generalisasi, teori
dan prosedur, serta model disiplin akademik dapat diajarkan kepada anak dari
berbagai tingkat usia sekolah.
Atas dasar tersebut, pada akhirnya
para sejarawan, ahli ilmu sosial dan pendidikan sepakat untuk melakukan
reformasi social studies dengan menggunakan cara yang berbeda dari sebelumnya
pendekatan tersebut adalah melalui proses pengembangan kurikulum sekolompok pendidik,
ahli psikologi dan ahli ilmu sosial secara bersama-sama mengembangkan bahan
belajar berdasarkan temuan penelitian dn teori belajar, kemudian diujicobakan
di lapangan, selanjutnya direvisi dan pada akhirnya disebarluasan untuk
digunakan secara meluas dalam dunia persekolahan.
Pada akhir dasawarsa 1960-an
tercatat (Barr, dkk.: 45) adanya perubahan dari orientasi pada disiplin akdemik
yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari hubungan interdisipliner.
Untuk ini the social studies curiculum center at syaracuse mengidentifikasi 34
konsep dasar yang digali dari sejumlah ilmu sosial yang dinilai perlu diajarkan
di sekolah.
Pada
dasawarsa 1970-an, demikian direkam Barr, dkk. (1877:46) terjadi pertumbuhan
social studies yang serupa dengan perkembangan sebelumnya dengan hasilnya
hampir semua proyek kurikulum menitik beratkan pada inquiry process, decision
making, value question and student oriented problems. Namun demikian, hasil
studi mengenai kurikulum dan pembelajaran social studies tersebut ternyata sangat
mengejutkan. Para ahli ternyata mendapatkan kesimpulan yang sama, yakni
terlepas dari upaya terbaik daripada pendidik dan besarnya biaya yang
dikeluarkan pemerintah, ternyata belum banyak terjadi perubahan di sekolah
(Barr, dkk., 1977:48).
Pada
dasawarsa 1980-an perkembangan social studies ditandai oleh lahirnya dua pilar
akademis; laporan pertama menghasilkan definisi, tujuan, lingkup dan urutan
materi mulai dari kindergarten sampai dengan kelas XII (high school), rincian
democratic beliefs and values, dan rincian Skill in the social studies
Curricurum.
Jika
dilihat dari definisi dan tujuannya, social studies menurut laporan tersebut
terkandung hal-hal sebagai berikut. Pertama, social studies merupakan mata
pelajaran dasar di seluruh jenjang pendidikan persekolahan; kedua, tujuan utama
mata pelajaran ini ialah mengembangkan siswa untuk menjadi warga negara yang
memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang memadai untuk berperan
serta dalam kehidupan demokrasi; ketiga, konten pelajarannya digali dan
diseleksi dari sejarah dan ilmu-ilmu sosial, serta dalam banyak hal dari
humaniora dan sains dan keempat, pembelajarannya menggunakan cara-cara yang
mencerminkan kesadaran pribadi, kemasyarakatan, pengalaman budaya, perkembangan
pribadi siswa. Kesemua itu mencerminkan visi, misi dan strategi yang senapas
dengan apa yang telah diajukan oleh Barr, dkk. (1978).
Jika
dilihat dari karakteristik dan tujuannya, social studies education atau social
studies yang dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap menempatkan pendidikan
kewarganegaraan, yakni pengembangan civic responsibility and active civic
participation, sebagai salah satu esensi pengembangan kemampuan sosial yang
berkenaan dengan visi tentang pengalaman hidupnya, pemahaman kritis terhadap
ilmu-ilmu sosial, pemahaman tentang manusia dalam konteks persatuan di dalam
perbedaan, dan analisis kritis terhadap keadaan kehidupan manusia.
Secara
essensial terkandung visi, misi dan strategi pendidikan social studies yang
mengokohkan kristalisasi pemikiran yang lebih solid dan ohesif dari para pakar
dan praktisi yang tergabung dalam NCSS yang secara social akademik sangat
berpengaruh di Amerika serikat, yang
biasanya juga memberi dampak yang sangat signifikan terhadap pemikiran dalam
bidang itu di negara lain. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dalam dasawarsa
terakhir, 1980 dan 1990-an, pemikiran mengenai social studies yang sebelumnya
dilanda penyakit ketidakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan dan
ketakmajuan paling tidak secara konseptual telah dapat diatasi.
b. Sejarah
Perkembangan IPS di Indonesia
Perkembangan
pemikiran mengenai pendidikan IPS di indonesia akan ditelusuri dari alur
perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan dikaitkan dengan beberapa
konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu, yang
secara sporadis dan yang dapat dijangkau. Istlah IPS untuk pertama kalinya
muncul dalam seminar nasional tentang civic Education tahun 1972 di Tawangmangu
Solo menurut laporan seminar tersebut (panitia seminar nasional civic
education, 1972:2, dalam Winataputra, 1978:42) ada 3 istilah yang muncul dan
digunakan secara bertukar pakai (interchangeably), yakni: pengetahuan sosial,
studi sosial, dan ilmu pengetahua sosial.
Ketiga
istilah ini diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah sosial yang dipilih
dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan
agar masalah-masalah sosial itu dapat dipahami dan memecahkan masalah sosial
sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS belum masuk kedalam kurikulum sekolah,
tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut.
Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah IPA (Ilmu
Pengetahuan Alam) dalam wacana pendidikan Sains, pengertian IPS yang disepakati
dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan
pemikiran tentang pendidikan IPS.
Konsep
IPS pertama kalinya masuk kedalam dunia persekolahan terjadi pada tahun
1972-1973, yakni dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
IKIP Bandung. Dalam kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan
Kewarganegaraan yang didalamnya terdapat sejarah Indonesia, ilmu bumi Indonesia
dan Civics yang diartikan sebagai pengetahuan kewargaan negara. Oleh karena
itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut konsep IPS diartikan sama denagn
Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah studi sosial anmpaknya
dipengaruhi oleh pemikiran sebuah manuskrip berjudul studi sosial:”pengantar
menuju sekolah Komperhensif yang isinya diiwarnai oleh pemikiran Leonard
Kenworth, (1970) dengan bukunya teaching Social Studies.
Konsep
pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975,
yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui kurikulum
PPSP. Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum
1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975
penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan
dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya pedoman
penghayatan dan pengamalan pancasila (P4) sebagai materi pokok pendidikan moral
pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan
yang mendasar.
Dengan
berlakunya undang-undang No. 2/1989 tentang sistem Pendidikan Nasional. Dalam wacana pendidikan
IPS muncul dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila Dan pendidikan
kewaranegaraan. Kemudian, ketika ditetapkannya kurikulum 1994 menggantikan
kurikulum 1984, kedua bahan kajian tersebut dikembangkan menjadi satu mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Secara konseptual
mata pelajaran ini masih tetap merpakan bidang pendidikan IPS yang khusus
mewadahi tradisi ctizenship transmission denagn muatan utama butir-butir nilai
pancasila yang diorganisasikan denagn menggunakan pendekatan spiral of concept
development ala Taba (Taba 1964) dan expanding environment approach ala Hanna
(Dufty ; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila pancasila.
Dlam
kurikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang
wajib diikuti oleh semua siswa dalam setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, dan
SMU). Sedang mata pelajaran IPS diwujudkan dalam;
1. Pendidikan
IPS terpadu di SD kelas III sampai dengan VI
2. Pendidikan
IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi
koperasi;
3. Pendidikan
IPS terpisah, yang mirip dengan tradisi “social studies” taught as social
science menurut (Barr, dkk.; 1978).
Bila
disimak dari perkembangan pemikiran IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai
denagn dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep
pendidikan IPS, yakni: pertama pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi
citizenship transmission dalam bentuk mata pelajaran pendidikan pancasila dan
kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan
dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah di SMU, yang
terkonfederasi di SLTP dan yang terintegrasi di SD.
Dilihat
dari perkembangan pemikiran yang ebrkembang di Indonesia sampai saat ini
pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni pertama, PIPS untuk dunia
persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu
Humaniora yang diorganisasikan secara psikopedagogis untuk tujuan pendidikan
persekolahan ; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan Guru IPS yang
pada dasrnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasaian secara ilmiah dan
meta psikopedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang
relevan untik tujuan profesional guru IPS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar